filsafat

Kognisi dalam filsafat - studi epistemologi dan epistemologi apa

Kognisi dalam filsafat - studi epistemologi dan epistemologi apa
Kognisi dalam filsafat - studi epistemologi dan epistemologi apa
Anonim

Keingintahuan tentang apa yang mengelilingi kita, upaya untuk memahami bagaimana alam semesta bekerja, serta keinginan untuk menembus dunia tak dikenal di dunia lain, selalu menjadi pertanda pikiran manusia. Ketika orang merasakan, mengalami, atau mengamati sesuatu yang terjadi pada orang lain, mereka mengasimilasi dan mengkonsolidasikannya, ingin tidak hanya memahami dengan benar apa keadaannya, tetapi juga apakah mungkin untuk memahami kebenaran. Kognisi dalam filsafat adalah salah satu pertanyaan paling menarik, karena filsafat berusaha merasionalisasi dan menjelaskan beragam proses yang terjadi dalam otak manusia dan bertujuan untuk memperoleh pengetahuan.

Proses kognisi lebih rumit daripada sekadar akumulasi pengetahuan - itu kreatif, budaya dan sosial; Ini melibatkan tidak hanya mekanisme berpikir rasional, tetapi intuitif dan sensorik. Itulah sebabnya kognisi dalam filsafat adalah masalah khusus, yang berkaitan dengan bagian teoretis khusus yang disebut epistemologi atau epistemologi. Awal epistemologi sebagai cabang khusus filsafat diletakkan oleh Scot Ferrier pada abad ke-19. Disiplin filosofis ini mempelajari baik metode dan prinsip untuk memperoleh pengetahuan, serta apa kognisi itu, apa hubungannya dengan dunia nyata, apakah itu memiliki batas, dan juga apa hubungan antara apa yang diketahui dan mereka yang tahu. Ada banyak teori pengetahuan yang berbeda yang saling mengkritik dan menawarkan banyak konsep tentang apakah pengetahuan itu benar dan dapat dipercaya, apa jenisnya, dan mengapa kita secara umum dapat mengetahui dunia dan diri kita sendiri.

Singkatnya, para filsuf di lapangan peduli dengan pemahaman mengapa pengetahuan itu ada; bagaimana kita dapat menentukan bahwa inilah tepatnya pengetahuan yang memiliki kepastian dan kebenaran, dan bukan penilaian (atau pendapat) yang dangkal, atau bahkan khayalan; bagaimana pengetahuan ini berkembang, dan juga apa metode kognisi itu sendiri. Dalam filsafat, sepanjang sejarahnya, pertanyaannya telah sangat akut tentang makna perolehan pengetahuan bagi manusia dan kemanusiaan, apakah itu membawa kebahagiaan atau kesedihan. Namun demikian, dalam kehidupan masyarakat modern, perolehan pengetahuan baru telah memperoleh signifikansi sedemikian rupa sehingga tahap perkembangan masyarakat saat ini sering disebut sebagai informasi, terutama karena itu adalah ruang informasi yang menyatukan umat manusia.

Kognisi dalam filsafat tampak seperti proses yang memiliki sifat sosial dan nilai. Sejarah memberi tahu kita bahwa orang-orang siap tidak hanya untuk memperoleh pengetahuan baru, tetapi juga untuk menjunjungnya, terlepas dari kenyataan bahwa seringkali mereka harus, dan sekarang harus, membayar dengan nyawa, kebebasan, pemisahan dari kerabat mereka. Karena ini adalah suatu proses, ini mirip dengan jenis kegiatan lain yang dipelajari dalam filsafat dan, seperti mereka, ditentukan oleh kebutuhan (keinginan untuk memahami, menjelaskan), motif (praktis atau murni intelektual), tujuan (memperoleh pengetahuan, memahami kebenaran), berarti (seperti observasi, analisis, eksperimen, logika, intuisi dan sebagainya) dan hasilnya.

Salah satu masalah utama yang menarik minat pemikiran filosofis adalah bagaimana kognisi berkembang. Filsafat awalnya menetapkan bahwa jenis pengetahuan pertama adalah naif, pengetahuan sehari-hari, yang seiring berjalannya waktu, dalam proses pengembangan budaya, meningkat, sehingga memunculkan munculnya prinsip-prinsip teoritis pengetahuan dan pemikiran ilmiah. Dalam hal ini, filsafat membedakan antara prinsip dan metode pengetahuan filosofis yang tepat dan studi pengetahuan ilmiah tertentu (filsafat ilmu).

Para filsuf juga berpikir tentang peran apa yang dimainkan oleh subjek yang memahami dalam proses kognisi. Kognisi dalam filsafat tidak hanya mempelajari hal-hal dan proses yang mengelilingi seseorang atau terjadi dalam dirinya secara mandiri, tetapi juga kehidupan spiritualnya. Mengetahui, seseorang tidak hanya menyadari bahwa ia sedang mempelajari sesuatu yang eksternal, tetapi juga bahwa studi ini mempengaruhi dirinya sendiri. Selain itu, terutama di bidang kognisi kemanusiaan, keadaan subjek yang mengetahui, nilai-nilai dan kepercayaannya dapat mempengaruhi hasil kognisi. Menilai masalah yang kompleks ini, para filsuf dari arah yang berbeda datang ke kesimpulan yang sepenuhnya berlawanan. Sebagai contoh, kaum positivis mengecam pengetahuan kemanusiaan karena kurangnya objektivitas, sementara wakil-wakil hermeneutika filosofis, sebaliknya, menganggap subjektivitas sebagai fitur khusus dari pengetahuan kemanusiaan, yang, karena itu, lebih dekat dengan kedekatan, dan, dengan demikian, dengan kebenaran.